Wikipedia

Search results

Thursday 27 December 2012

Peduli dengan orang miskin, seorang pastor rela tinggal di kawasan kumuh


20/11/2012 Peduli dengan orang miskin, seorang pastor rela tinggal  di kawasan kumuh thumbnail

Pada hari Minggu pagi, Pastor Pete Montallana OFM mempersembahkan Misa di ruang terbuka di tengah gubuk yang membuat sebagian umat  basah kuyup.
Pastor Montallana tidak tinggal di luar, tapi ia sendiri tinggal di ruang yang disewa dengan harga 1.500 peso per bulan ($ 36) di tengah-tengah perkumuhan Quezon City. Kamar mandinya berbagi dengan puluhan warga lain.
Pastor Montallana menjadi milik Ordo Saudara-Saudara Dina yang memiliki karisma untuk hidup dengan orang miskin.
Sejak ia belajar teologi tahun 1970-an, imam berusia 62 tahun itu mengatakan ia telah “masuk” ke pemukim kumuh, beberapa kali.
“Tapi, tidak semua imam melakukan pekerjaan seperti ini. Ini adalah rahmat, sebuah karunia dari Tuhan,” kata Pastor Montallana di kamar gubuknya di lantai kedua.
Misinya sederhana: untuk memelihara iman umat dan membantu mereka menyadari hak-hak mereka sebagai penduduk miskin kota.
Pada Desember tahun lalu, imam itu mengumpulkan orang-orang untuk Simbang Gabi, Misa sembilan subuh yang berpuncak pada Hari Natal. Dia juga mengadakan rekoleksi untuk keluarga dan memberikan seminar tentang hak asasi manusia.
Dari pertemuan ini muncul sebuah komunitas basis Gerejawi yang bertemu setiap hari Sabtu di kamar Pastor Montallana yang sempit untuk merefleksikan perjuangan rakyat berbasis Injil.
“Mereka ‘labil, tapi mereka akan tumbuh bersama seiring dengan perjalanan waktu,” kata Pastor Montallana.
Imam itu menambahkan bahwa ia menerapkan homilinya, saat ia bangun pagi ia menyapa tetangganya yang berprofesi sebagai tukang becak, sopir bajaj, pemulung, dan penyapu jalan.
“Diberikan kesempatan untuk mendengar firman Allah, orang akan berubah,” katanya. “Saya bisa merasakan perubahan dalam hal kesadaran.”
Sementara mengais-ngais plastik yang dibawakan oleh banjir melalui komunitas itu, anak jalanan menemukan sebuah janin di antara sampah, dan memutuskan untuk menguburnya. Ketika tetangga meninggal, semua orang membantu.
Setelah banjir yang merendam rumah-rumah mereka, mereka kembali dan melanjutkan kehidupan mereka sehari-hari.
“Ada begitu banyak manusia di sini. Dan ini adalah misteri dalam kehidupan masyarakat miskin kota,” kata imam Fransiskan.
Pastor Montallana mengatakan ia mengalami semacam “pencerahan” pada November tahun lalu setelah api melalap sebuah pemukiman kumuh tidak jauh dari biaranya.
“Saya gelisah. Bagaimana saya bisa tidur dengan nyaman di biara. Api itu menjadi tantangan bagi saya untuk fokus pada orang miskin,” katanya. Dia meminta cuti satu tahun kepada atasannya untuk pergi ke pemukim kumuh serta hidup dan bergabung dengan orang-orang tersebut.
Pastor Montallana tidak menghabiskan seluruh waktunya di daerah kumuh. Dia pergi ke pegunungan dan bekerja dengan masyarakat adat yang berjuang untuk tanah mereka.
Cutinya sepanjang tahun untuk “tinggal di luar” berakhir bulan ini. Dia berencana untuk pindah ke kawasan kumuh lain dan memulai satu tahun lain “persekutuan meja” dengan orang miskin.
“Di antara orang miskin, saya melihat Tuhan sendiri,” katanya.
Sumber: Priest serves ‘the least of these’ among Philippine poor

S ebagai orang Katolik, presiden baru Korea Selatan perlu respek terhadap ajaran Gereja

e

24/12/2012 Sebagai orang Katolik, presiden baru Korea Selatan perlu respek terhadap ajaran Gereja thumbnail

Banyak hati orang Katolik akan tertegun ketika berita muncul pada 19 Desember bahwa Juliana Park Geun-hye telah memenangkan pemilu presiden Korea Selatan.
Dengan hanya satu atau dua pengecualian, wanita itu memiliki pandangan yang diametris menentang komunitas Katolik, dengan mendukung isu-isu seperti hukuman mati, pembangunan pabrik nuklir baru, perjanjian perdagangan bebas, proyek bendungan Five Rivers dan pangkalan angkatan laut Jeju.
“Ini sangat disayangkan,” kata Pastor Jang Dong-hun kepada ucanews.com.
Pada Oktober, sebagai sekretaris Komite Keadilan dan Perdamaian Konferensi Waligereja Korea Selatan, Pastor Jang mengirim kuesioner tentang isu-isu sosial dan politik kepada para kandidat presiden, untuk meminta pendapat mereka terutama terkait ajaran Gereja dengan isu-isu tersebut.
Hanya salah satu kandidat tidak menjawab. Kandidat tersebut adalah Park, kini presiden terpilih.
Namun, pendapatnya dapat diamati melalui berbagai pidato dan deklarasi. Dia adalah pendukung hukuman mati dan perjanjian perdagangan bebas. Dia juga mendukung pembangunan pangkalan angkatan laut raksasa di Pulau Jeju.
Terkait proyek Five Rivers sangat kontroversial dia tetap diam, dan ia tampak berhati-hati mengenai gagasan membangun lebih banyak reaktor nuklir.
Pastor Jang merasa khawatir bahwa rezim itu akan berlanjut dan bahkan melanjutkan apa yang dimulai oleh pendahulunya.
“Selama lima tahun terakhir di bawah Presiden Lee Myong-bak, uang menjadi faktor utama dalam masyarakat Korea, sementara hal lain diabaikan.”
Park, 61, adalah putri dari Mendiang Presiden Park Chung-hee, yang memerintah Korea Selatan dengan tangan besi dari tahun 1961, ketika ia memimpin kudeta militer, hingga tewas terbunuh tahun 1979.
Dia merintis industrialisasi Korea dan dipercaya oleh banyak orang karena memimpin negara itu keluar dari kemiskinan menuju kemakmuran yang kini dirasakan. Tapi, dia juga mengabaikan hak asasi manusia dan demokrasi.
Gereja Katolik umumnya menentang kediktatoran dan beberapa klerus termasuk mendiang Uskup Daniel Tji Hak-soon dari Wonju yang dipenjara.
Park Chung-hee mengaku tidak beragama dan tampaknya tidak menyukai segala bentuk agama. Putrinya dibaptis sebagai seorang Katolik saat menjadi mahasiswi di Universitas Sogang, yang dikelola Yesuit, namun dalam beberapa tahun terakhir dia juga mengatakan ia tidak beragama.
Sejumlah umat Katolik menanggapi berbeda terkait hasil pemilu tersebut.
Fabiano Choi Hong-jun, ketua Dewan Kerasulan Awam Katolik Korea, mengatakan bahwa lebih dari setengah pemilih mendukung Park, itu bisa menjadi sesuatu yang baik untuk membawa persatuan nasional. Dalam pemilu sebelumnya, tidak ada jumlah suara mayoritas.
Dia mengungkapkan harapan bahwa “Park hendaknya merangkul lawan-lawannya dan membuat masyarakat di mana orang dapat percaya dan berkomunikasi satu sama lain.”
“Sebagai seorang pemimpin Katolik, saya berharap ia melakukan hal yang lebih penting terkait ajaran Katolik dan membuat masyarakat menghormati kehidupan dan hak asasi manusia.”
Park telah berjanji untuk memberikan lebih banyak perhatian pada “ekonomi akar rumput,” khususnya perempuan. Tapi, Elizabeth Choi Geum-ja, perwakilan dari Komunitas Perempuan Katolik Korea untuk Dunia Baru, merasa skeptis.
“Park adalah seorang wanita, tapi saya tidak yakin apakah dia adalah ‘presiden wanita yang dipersiapkan’ karena ia tidak memiliki kebijakan feminis,” katanya.
Pastor Jang menunjukkan  sangat jelas tentang sikap Gereja terhadap presiden baru itu. “Juliana Park terpilih karena halo (mitos) Park Chung-hee’ yang disebut sebagai pemujaan uang yang mendominasi rakyat Korea,” katanya.
“Dalam situasi ini, Gereja kita memiliki tanggung jawab sejarah untuk mengubah arus dengan membawa obor keadilan dan kebaikan bersama,” tambahnya.
Sumber: Election result brings gloom to Church leaders

Uskup ikut campur tangan terkait pencari suaka politik


12/12/2012 Uskup ikut campur tangan terkait pencari suaka politik thumbnail

Jumlah warga Tamil dan imigran ilegal lainnya dari utara Sri Lanka yang menjadi pencari suaka di Australia terus meningkat, meskipun bahaya dalam perjalanan dan hampir pasti mereka akan ditangkap dan dideportasi jika mereka bertahan hidup di negara kanguru itu.
Banyak orang memilih untuk meninggalkan negaranya untuk menghindari diskriminasi yang terus menerus dan penyiksaan oleh pasukan militer, polisi dan intelijen, demikian ungkap salah satu prelatus Sri Lanka.
Uskup Joseph Rayappu dari keuskupan Mannar telah menulis surat bulan ini kepada para pejabat di Australia memohon mereka untuk tidak mendeportasi para imigran Tamil ilegal dan sebaliknya memberikan suaka politik kepada mereka.
“Ini adalah pendapat saya yang menganggap bahwa hal itu sangat berbahaya bagi para pencari suaka dari utara dan timur Sri Lanka yang akan dipulangkan ke [negara] mereka, akibat situasi politik yang masih tegang di wilayah itu,” tulis Uskup Joseph dalam surat tersebut, yang dikirim pada 3 Desember.
“Saya menyampaikan penghargaan yang tinggi dan berterima kasih kepada pemerintah Australia atas kebaikan yang ditunjukkan kepada para pencari suaka dari Sri Lanka dengan menampung mereka. Saya mendukung perlindungan politik yang diberikan kepada para pencari suaka oleh pemerintah Australia.”
Pemerintah Sri Lanka segera menanggapi surat tersebut. Sumber-sumber Gereja yang tidak menyebutkan namanya mengatakan para pejabat dari Divisi Investigasi Kriminal mempertanyakan isi surat Uskup Joseph tertanggal 7 Desember itu dan apakah itu bisa dilihat untuk menodai citra pasukan keamanan negara itu.
Tahun ini warga Sri Lanka tiba di Australia berjumlah 6.192 dengan menggunakan perahu,  511 telah dikembalikan, demikian pemerintah.
Sekitar 90 persen dari para pengungsi itu adalah warga Tamil.
Pastor Anthony Victor Sosai, vikjen keuskupan Mannar, mengatakan banyak warga Tamil meminta bantuan kepada uskup itu.
“Pengungsian, ancaman, pengangguran dan takut penyiksaan merupakan masalah umum bagi mereka,” katanya.
“Ini adalah sebuah seruan yang bersifat umum tanpa melakukan diskredit.”
Sekitar 100.000 warga Tamil tetap terlantar dan tanpa tempat tinggal selama lebih dari tiga tahun setelah perang saudara berdarah Sri Lanka berakhir, dan dalam banyak kasus, karena tanah mereka telah dirampas oleh militer, kata anggota parlemen oposisi dan pengacara MA Sumanthiran.
“Saya pergi ke tempat lain sehingga saya bisa memanfaatkan kesempatan untuk mencari suaka politik,” katanya Jesudasan, 45, ayah dari tiga anak.
Ia ditangkap dan tetap dalam tahanan, karena kasus pengadilannya telah ditunda beberapa kali.
Dia termasuk dalam sebuah kelompok yang berjumlah lebih dari 100 orang yang dipukul oleh polisi dan pasukan keamanan karena mereka mendukung pihak oposisi selama pemilihan gubernur tahun ini.
Komandan Kosala Warnakulasuriya, seorang juru bicara media Angkatan Laut Sri Lanka Media, mengatakan peningkatan kasus-kasus migrasi ilegal, telah berkurang terkait kondisi politik atau sosial di negara itu.
Ia mengatakan kepada media lokal bahwa kelompok-kelompok lobi pro-Tamil telah menggunakan isu itu untuk mendiskredikan pemerintah Sri Lanka.
Sumber: Bishop intervenes on behalf of Tamil asylum seekers

Warga suku Garo merasa beruntung masuk Katolik


27/12/2012 Warga suku Garo merasa beruntung masuk Katolik thumbnail

Satu setengah abad setelah suku Garo, Bangladesh menyaksikan konversi pertama menjadi Katolik oleh para misionaris, kini jumlah penganutnya terus berkembang.
Agama Katolik telah menjadi bagian besar dari pelestarian budaya suku Garo, kata Tapan Marak, seorang pemimpin dari kelompok minoritas adat ini.
Tahun 1910, orang-orang suku Garo pertama masuk Katolik, dan saat ini dari 120.000 warga Garo Bangladesh, 80 persen dari mereka adalah Katolik.
“Kami telah menemukan iman baru di dalam Kristus, tetapi kami tidak melupakan tradisi kami,” kata Marak.
Salah satu pengaruh positif kekristenan Barat pada suku Garo adalah pengenalan huruf Romawi yang digunakan untuk menerjemahkan bahasa Garo, yang sebelumnya tidak memiliki bentuk tertulis.
Saat ini, ada teks-teks liturgi dalam bahasa minoritas, serta lagu serta paper penelitian, dan anak-anak Garo belajar dalam bahasa mereka sendiri di sekolah dasar.
“Tanpa menganut agama Katolik, saya tidak berpikir orang-orang Garo bisa bertahan hidup dengan baik di dunia,” kata seorang pemimpin suku BF Rongdi.
Dari 45 etnis minoritas Bangladesh, Garo dianggap di antara yang paling terdidik dengan tingkat baca-tulis lebih dari 80 persen dibandingkan rata-rata nasional 65 persen.
Sekitar 16.000 dari suku itu telah bermigrasi ke Dhaka untuk mencari pekerjaan di mana mereka lebih baik dibandingkan mayoritas orang Bangladesh pedesaan yang menuju ke ibukota itu.
Banyak pria bekerja untuk LSM, sedangkan wanita cenderung bekerja di pabrik-pabrik garmen atau salon kecantikan di mana mereka sering meningkat dengan cepat dan tercatat bekerja keras.
Pekan lalu, 5.000 migran Garo berkumpul di Dhaka untuk merayakan festival tradisional panen mereka, Wangala, dengan Misa inkulturasi.
Promod Mankin, Menteri Negara Urusan Kebudayaan dan Menteri Kesejahteraan Sosial, yang bukan hanya satu-satunya anggota parlemen Garo di Bangladesh, ia juga satu-satunya orang Katolik di parlemen dan telah terpilih tiga kali.
Status meningkat dari suku Garo dalam masyarakat Bangladesh adalah bertentangan dengan reputasi suku itu yang hidup sebelumnya.
Hidup di lereng bukit di Bangladesh jaman modern dan di negara bagian Meghalaya, India selama berabad-abad, penjajahan Inggris, berlabel minoritas di Asia Selatan di sebuah bukit suku yang “keji dan haus darah”.
“Umat Hindu menganggap mereka sebagai suku barbar dan mayoritas Muslim mengeksploitasi mereka karena kesederhanaan mereka,” kata Suvash Jengcham, seorang penulis Garo, budayawan dan seorang Katolik. “Agama Katolik memberikan mereka harapan.”
Para misionaris Protestan bersikap keras terhadap suku itu, dan berupaya membasmi lagu-lagu dan tarian tradisional, serta minum bir beras ketika mereka memasuki wilayah Garo pada pergantian abad ke-20, kata Jengcham.
Sebaliknya, Gereja Katolik mencoba menggabungkan ajarannya ke dalam tradisi suku itu.
“Para misionaris asing dan lokal selain mendirikan gereja-gereja, mereka juga mendirikan sekolah-sekolah dan asrama untuk pendidikan, kata Pastor Robert Makhin, yang menulis sebuah buku tentang sejarah orang-orang Garo di Bangladesh.
“Yang paling penting adalah membantu mereka melestarikan budaya dan tradisi Garo di Gereja,” katanya.
Garo adalah salah satu kelompok etnis matriliniel paling langka di dunia berdasarkan sistem keluarga perempuan di mana ayah akan pergi mencari nafkah dan ibu akan tinggal di rumah mengurusi rumah tangga dan karena itu dianggap sebagai kepala keluarga. Hingga saat ini, anak-anak Garo masih menggunakan nama ibu mereka.
Sumber: Tribe mixes tradition with the Bible to preserve way of life

Sri Sultan: Kini sukar mendapat tokoh nasional Katolik

18/12/2012 Sri Sultan: Kini sukar mendapat tokoh nasional Katolik thumbnail

Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta, Sri Sultan Hamengku Buwono X menyoroti kelemahan pendidikan kader sebagai penyebab sulitnya orang-orang Katolik saat ini yang tampil sebagai tokoh-tokoh nasional dibanding dengan pada masa-masa awal kemerdekaan.
“Bahkan, nyaris tidak ada aktivitas orang muda Katolik yang mengarahkan mereka pada peran dan tanggung jawab dalam politik. Hal ini berbeda dengan pada masa-masa awal kemerdekaan, dimana kala itu, banyak sekali tokoh-tokoh Katolik yang mengambil peran sentral,” katanya saat memberi keynote speech dalam acara Dies Natalis ke-67 Pemuda Katolik di Kampus Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta, Minggu, (16/12).
Menurut Sultan, saat ini tidak ada pendidikan yang mumpuni bagi kader-kade Katolik sehingga tidak muncul tokoh seperti IJ Kasimo, tokoh politik pejuang kemerdekaan yang dianugerahi gelar pahlawan tahun ini dan Mgr Soegijapranata SJ, uskup pribumi pertama yang turut berperan mengusir penjajah Belanda dan terkenal dengan semboyannya, ‘menjadi 100% Katolik, 100% Indonesia’ serta sejumlah tokoh lain selama era pemerintahan Presiden  Soekarno dan Presiden Soeharto.
“Jika dahulu ada Kasimo, Soegijapranata dan kawan-kawan, maka kini, bangsa ini merindukan munculnya tokoh-tokoh Katolik di tingkat nasional yang sekaliber mereka”, kata Sultan.
Ia menambahkan,  pernyataan bahwa ‘generasi muda adalah masa depan, harapan dan tulang punggung Gereja’ hanya sebatas wacana.
“Belum banyak tindakan konkret oleh orang muda dan usaha dari orang muda Katolik sendiri untuk berbuat sesuatu yang didukung oleh para tokoh senior politisi Katolik dan Gereja”.
Ia menjelaskan, sebuah keniscayaan bila Gereja Katolik mampu mencetak pemimpin-pemimpin yang bekerja karena menjadi panggilan hatinya, menjadi pemimpin yang tegas, tidak otoriter, mampu menjamin terbangunnya iklim demokrasi yang kuat dan merawat keberagaman yang menjadi ciri Indonesia.
Ketua Umum Pemuda Katolik Agustinus Tamo Mbapa, mengakui memang pendidikan kader-kader Katolik masih  belum ditata dengan baik.
“Selain itu, ada semacam keterputusan atau tidak ada regenerasi pendidikan kader dari generasi tua ke generasi muda”, ungkapnya.
Mbapo juga melihat peran Gereja yang cukup intens pada zaman dahulu dalam mendampingi kader-kader Katolik.
“Orang-orang muda Katolik betul-betul diperhatikan oleh Gereja, berbeda dengan situasi beberapa tahun terakhir”.
Namun, ia menjelaskan, saat ini Pemuda Katolik sedang terus memperluas jaringan kerja sama dengan pihak hirarki Gereja dan juga dengan lembaga-lembaga lain.
Sementara itu, Ketua Komisi Kerasulan Awam Konferensi Waligerja Indonesia (KWI), Mgr Yustinus Harjosusanto MSF mengatakan, saat ini Gereja memang tidak memiliki lembaga khusus untuk mendidik kader-kader Katolik, tetapi menyerahkan hal itu pada organisasi-organisasi dan partai politik.
“Meski demikian, tentu saja Gereja tetap memperhatikan umatnya yang menjadi politikus”, katanya kepada ucanews.com ketika ditemui di sela-sela acara.
Uskup Tanjung Selor ini mengakui memang banyak orang Katolik yang menjadi politikus, namun hanya sedikit yang menjiwai semangat kekatolikan.
“Semangat kekatolikan itu kan mengedapankan nilai-nilai kebenaran, keadilan, kejujuran dan juga keberpihakan pada orang-orang kecil. Namun, sekarang hal itu belum menjadi spirit dari orang-orang Katolik yang menjadi politikus”, tegasnya.
Ia menjelaskan, selama ini Komisi Kerawam memang berupaya memfasilitasi pertemuan politisi-politisi Katolik, yang biasa diadakan setiap bulan untuk meningatkan mereka akan jati diri sebagai orang Katolik.
“Kalau orang-orang Katolik hasil didikan organisasi dan yang menyebar di partai-partai politik menghayati nilai-nilai kekatolikan dalam menjalankan profesi mereka, maka tentu gelar sebagai tokoh nasional akan datang dengan sendirinya. Hanya saja, ini masih menjadi persoalan Gereja saat ini, yang mesti disikapi secara serius”, tegasnya.
Ryan Dagur, Yogyakarta


Sumber  http://indonesia.ucanews.com/2012/12/18/sri-sultan-kini-sukar-mendapat-tokoh-nasional-katolik